Bannner
Banner MAN4 Blog Kompetisi

Pacaran Islami? Siapa Takut!

12.30 Posted In Edit This 0 Comments »



Dik Ayu… Inget obrolan kita di milis Manajemen Cinta Islami ? santai tapi serius sama sodara2 seiman di komunitas itu, kita sering nyinggung model2 solusi berbasis ‘pacaran Islami’. (Wuih, kurikulum banget! Hehe…)
Dari obrolan semacam itu kita jadi kian sadar, perilaku yang tidak mengarah ke zina pada seseorang belum tentu begitu pula pada orang lain. Ada yang birahinya tidak bangkit meski sampai menyisir rambut si dia, tetapi ada yang melihat bibir si dia sepintas lalu saja sudah terangsang berat. Perilaku yang tidak mendekati zina dalam suatu keadaan pun belum tentu begitu pula dalam keadaan lain. Walaupun kemarin syahwat kita tak bergejolak memandang mata si dia ketika iman kita kuat, misalnya, mungkin saja hari ini tatapan matanya membakar gairah seksual kita lantaran sedang lemah-iman.
Kita pun kian sadar, perilaku yang diyakini Islami oleh sebagian orang belum tentu dianggap Islami oleh sebagian yang lain. Bisa aja aktivitas yang dipandang cukup Islami oleh sebagian di antara kita ternyata dinilai kurang Islami oleh sebagian yang lain. Namun, kita tidak hendak menjadikan diri kita ‘hakim’ yang memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah, atau pun siapa yang lebih baik dan siapa yang lebih buruk.
> Nggak bingung, manakah ‘jalan islami’ itu?
Kita yakin, Dik, ada banyak cabang iman. Pintu surga pun ada banyak. Oleh karena itu, jalan Islami pasti ada banyak pula. Namun, dengan sudut pandang tertentu, jalan-jalan Islami itu bisa kita kelompokkan menjadi tiga macam. Aku menamainya: Maksimalis, Minimalis, dan Optimalis. Dengan demikian, pacaran Islami pun dapat kita golongkan menjadi tiga jenis: [1] pacaran Islami-Maksimalis, [2] pacaran Islami-Minimalis, dan [3] pacaran Islami-Optimalis.

Pacaran Islami-Maksimalis
Bagi saudara2 kita yang cenderung maksimalis dalam ber-Islam, bagian dari Al-Qur’an yang paling menarik perhatian adalah ayat2 ‘kesempurnaan’. Contohnya: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu.” (al-Mâ’idah [5]: 3) “Hai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara kâffah (keseluruhan) dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah [2]: 208) “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik.” (al-Ahzâb [33]: 21) “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak [pula] bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan [hukum], akan ada bagi mereka pilihan [hukum lain] tentang urusan mereka.” (al-Ahzâb [33]: 36)
Dalam urusan pacaran, ayat yang tampaknya paling sering ditonjolkan adalah yang mengenai ‘zina’ dan kesempurnaan akhlak, misalnya: “Katakanlah kepada lelaki-lelaki beriman agar mereka menundukkan sebagian pandangan dan menjaga kemaluan; itulah yang lebih bersih untuk mereka. … Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan beriman agar mereka menundukkan sebagian pandangan dan menjaga kemaluan; janganlah memamerkan kecantikan dan perhiasan mereka, kecuali [yang biasa] terlihat; …” (an-Nûr [24]: 30-31) “Dan janganlah kamu dekati zina. Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji.” (al-Isrâ’ [17]: 32)
Semacam itu pula hadits yang paling sering ditekankan. Di antaranya: “Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dia lakukan. Zinanya mata adalah melihat [dengan syahwat], zinanya lidah adalah mengucapkan [dengan syahwat], zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan [pemenuhan nafsu syahwat], kemudian kemaluan yang membenarkan atau menolak itu semua.” (HR Bukhari & Muslim) “Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang perempuan, kecuali disertai mahramnya.” (HR Bukhari) “Sesungguhnya salah seorang di antaramu ditikam dengan jarum dari besi adalah lebih baik daripada menyentuh orang yang tidak halal baginya.” (HR Thabrani)
Menonjolkan dan menekankan dalil2 kayak gitu bisa membuat kita menjadi sangat berhati-hati dalam ber-Islam. Sikap ini didukung oleh Rasulullah saw. yang bersabda:
Halal itu jelas dan haram itu juga jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat (tidak jelas apakah halal ataukah haram) yang tidak diketahui oleh sebagian besar manusia. Barangsiapa menghindari hal-hal yang syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. (HR Bukhari & Muslim)
Sikap kehati-hatian dalam urusan pacaran dapat berujud keengganan untuk menjalani pacaran dalam bentuk apa pun, termasuk yang Islami sekalipun.
> Kalo segala bentuk pacaran dihindari, kenapa
> Mbak sebut ada jenis pacaran Islami-Maksimalis?
Ini karena masalah perbedaan definisi istilah. Sebenarnya, yang dihindari adalah pacaran yang Islami-Minimalis dan Islami-Optimalis, disamping yang non-Islami. Pacaran Islami-Maksimalis diterima, tetapi dengan istilah lain (Ta’aruf, misalnya). Istilah ‘pacaran Islami’ tidak digunakan karena kata ‘pacaran’ dipandang terlalu kotor untuk disandingkan dengan istilah ‘Islami’ yang suci. Lagian, emang nggak sedikit sih orang yang menganggap bahwa pacaran tuh yg pake ‘begituan’, nyerempet2 zina ato malah ‘nubruk’ sekalian, alias jalan ‘tol’ menuju senggama.
Di satu sisi, Dik, kita hormati pilihan saudara2 kita yang maunya Ta’aruf dan tak sudi ‘pacaran’. Tak usahlah kita ledek mereka dengan kata2 provokatif: “Kamu pacaran, ya? Ta’aruf kok nggak ada bedanya ama pacaran?”
Di sisi lain, kita himbau mereka untuk berlapang dada manakala ada orang yang menilai bahwa perilaku ta’aruf mereka sudah tergolong pacaran, seperti si L dalam bahasan “Kenapa Kita Omongin Pengertian ‘Pacaran’?” di atas. Toh, pada kenyataannya, sikap dan tingkah-laku mereka tidak lepas dari aktivitas yang terkandung dalam definisi baku yang kita jadikan pegangan, yakni “bercintaan dengan kekasih-tetap”, walaupun pengungkapan rasa cinta pasangan2 ini tidak seekspresif pasangan pacaran lain pada umumnya.
Dalam pacaran Islami-Maksimalis, ekspresi cinta cenderung sangat dibatasi, baik dalam segi dimensi waktu maupun ruang. Biasanya waktunya singkat atau sangat singkat, lalu segera ditindak-lanjuti dengan pernikahan. (Kalau perkawinan belum bisa segera dilangsungkan, diputuslah tali hubungan pacaran.) Ruang interaksi dengan sang pacar sangat tersekat. Yang bermedia dibatasi, apalagi yang tatap-muka. Tidak ada aktivitas berduaan dalam keadaan apa pun, kecuali bila ada pengawasan yang sangat ketat (terutama dari muhrim pihak perempuan).
Ketika rasa cinta diekspresikan, ungkapan tersirat (sindiran halus) lebih diutamakan daripada yang tersurat (terang2an). Dalam pola maksimalis ini, diasumsikan bahwa cinta dapat berkembang di antara suami-istri dan hanya boleh dikembangkan sesudah ijab-qabul. (Karenanya, sering kita dengar dari mereka, “Pacaranlah setelah menikah!”) Pengembangan cinta di luar nikah dianggap berbahaya karena dipandang ‘mendekati zina’. Wallâhu a’lam.
Pola interaksi yang sangat terbatas itu agaknya sudah cukup memadai bila kita pertimbangkan kecenderungan orientasi pacaran Islami-Maksimalis, yaitu pernikahan. Untuk dapat segera nikah, pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang hal-ihwal si dia dipandang mencukupi. Karenanya, segi informasi ini biasanya diprioritaskan.
Jalan pacaran Islami-Maksimalis ini telah begitu banyak tersaji di buku2 agama yang beredar di tengah2 kita, walau tanpa istilah ‘pacaran Islami’ atau pun embel2 ‘maksimalis’. Tak perlulah kita berpanjang-lebar. Sekarang, yuk kita berusaha mengenali jalan Islami lainnya.
Pacaran Islami-Minimalis
Dalam konteks cinta dan kasih-sayang, ayat-ayat mengenai keleluasaan gerak dapat dijadikan pegangan bagi saudara2 kita yang memilih jalan pacaran Islami yang minimalis. Misalnya: “Tiada dosa bagimu jika … kamu pelihara [rasa cinta di luar nikah] itu di dalam kalbu. Allah mengetahui bahwa kamu teringat-ingat kepada mereka. … Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.” (al-Baqarah [2]: 235) (Lihat WPPI: 59-60.) “Karena rahmat dari Allah-lah kamu bersikap lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, niscaya mereka menjauhi kamu.” (Âli ‘Imrân [3]: 159)
Begitu pula hadits2 yang bisa dijadikan sandaran. Contohnya: “Ada seorang perempuan Anshar mendatangi Nabi saw., lalu beliau BERDUAAN dengannya. …” (HR Bukhari & Muslim) (Lihat WPPI: 65.) “Dan ketika Rasulullah tidur, Ummu Sulaim mengusap keringat dan [mengkeramasi] rambut kepala beliau, dengan memasukkan [rambut] itu ke dalam sebuah bejana dan mencampurnya dengan minyak wangi.” (HR Bukhari & Muslim) “Sungguh Rasulullah saw. [pernah] mengunjungi Ummu Haram binti Milhan. … Wanita tersebut menjamu makan Rasulullah dan MENYISIR rambut kepala beliau.” (HR Bukhari & Muslim) “… Kemudian aku [Abu Musa r.a.] menemui seorang wanita dari kaumku untuk kumintai bantuannya menyisir rambut kepalaku dan membersihkannya.” (HR Bukhari & Muslim) (Lihat MCMD: 12-14.)
Sebagian dari saudara2 kita yang maksimalis merasa keberatan atas digunakannya hadits2 tsb untuk urusan pacaran. Alasannya, keakraban semacam itu terjadi di antara sahabat, bukan antarkekasih; padahal, kata mereka, peluang terjadinya zina lebih besar pada orang yang bercintaan daripada yang hanya bersahabat. Namun, kita memperhitungkan sekurang-kurangnya dua sudut pandang lain.
Pertama, keintiman tsb berlangsung di antara orang2 yg udah nikah. Kita perhatikan, walaupun mengandung risiko ‘mendekati zina’, hubungan akrab antarlawan-jenis yang berstatus nikah merupakan sunnah Rasulullah saw.. Padahal, kita tau, orang yg udah nikah itu diancam dengan hukuman yg lebih berat bila ngelakuin zina ketimbang orang yg belum nikah. Bagaimana mungkin hubungan akrab antarlawan-jenis yang berstatus belum-nikah (yang kendati mengandung risiko ‘mendekati zina’, tetapi diancam dengan hukuman yang lebih ringan) malah terlarang?
Kedua, pernah Rasulullah bersabda mengenai hubungan antar manusia: “Apa yang tidak disinggung-Nya adalah tergolong dalam hal-hal yang dibolehkan-Nya.” (Hadits nomer 3190 di kitab Shahih al-Jami’ ash-Shaghir.) Pada kenyataannya, sewaktu menjumpai fenomena pacaran (bercintaan dengan kekasih-tetap), beliau tidak sekedar membiarkannya, tetapi juga bersimpati kepada pelakunya dan bahkan mencela sekelompok sahabat yang memandang rendah pasangan tersebut. Beliau menyindir, “Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?” (HR Thabrani; lihat WPPI: 44-45.)
Dik Ayu… Penonjolan dan penekanan dalil2 kayak gitu bisa menjadikan kita sangat bersahaja atau sederhana dalam ber-Islam. Sebagaimana kehati-hatian (di jalan maksimalis), sikap bersahaja (di jalan minimalis) ini didukung pula oleh Rasulullah saw.:
Pernah beliau menjumpai beberapa orang Arab pedalaman yang mengatakan bahwa mereka hanya akan menjalankan kewajiban pokok agama, seraya bersumpah bahwa mereka tidak akan menambahinya atau pun menguranginya. Mengenai orang ini, beliau bersabda: “Ia akan masuk surga jika benar-benar [menepati janji tersebut],” dan “barangsiapa suka melihat [calon] penghuni surga, maka lihatlah orang ini!” (HR Bukhari & Muslim)
Masya’ Allaah… Sejak menyadari keberadaan hadits shahih ini, Dik, aku jadi makin tak berani memandang rendah saudara2 kita yg minimalis. Memang, mungkin saja, mereka kurang tertarik untuk menunaikan amal2 sunnah dan kewajiban2 yang tidak pokok. Bisa jadi, mereka kurang terdorong untuk seketat-ketatnya menghindari perbuatan2 makruh, perkara2 syubhat, dan dosa2 kecil. Namun, mereka yg hanya menjalankan kewajiban pokok agama (dengan tidak menambahinya dan tidak melakukan perbuatan dosa besar) secara konsisten (istiqamah) itu ternyata merupakan pemegang tiket masuk surga!
Dalam urusan pacaran, kebersahajaan jalan Islami-Minimalis tampak pada tidak begitu dipersoalkannya urusan pernikahan. Yang diprioritaskan bukanlah apa yang akan dihadapi, melainkan apa yang sedang dirasakan. Jalan pacaran Islami-Minimalis cenderung berorientasi pada hubungan cinta. Pokoknya, yang paling dikehendaki adalah terpenuhinya kebutuhan untuk mencintai dan dicintai melalui keakraban hubungan. Aktivitas berduaan tidak ditabukan. Asalkan tidak berzina, yakni tidak berhubungan seksual, itu sudah cukup Islami bagi kalangan Minimalis. Wallâhu a’lam.
Berbeda dari jalan Maksimalis yang memperlakukan ‘zina kecil’ (’zina mata’, ‘zina lisan’, ‘zina hati’, dsb) sebagai ‘dosa besar’, jalan Minimalis menganggapnya sebagai ‘dosa kecil’. Pemahaman ini sesuai dengan pandangan dari seorang shahabat yang mulia, yaitu Ibnu Abbas r.a.. Ia menyatakan, “Tidak ada yang kuperhitungkan lebih menjelaskan tentang dosa-dosa kecil daripada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda: ‘Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dia lakukan. Zinanya mata adalah melihat [dengan syahwat], zinanya lidah adalah mengucapkan [dengan syahwat], zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan [pemenuhan nafsu syahwat] …’.” (HR Bukhari & Muslim)
Berbeda dari sikap para shahabat yang mulia, kita mungkin cenderung mempersoalkan sikap saudara2 kita yang -dalam pandangan kita- meremehkan dosa kecil. Karena itu, alangkah baiknya bila kita belajar dari seorang shahabat terkemuka, yaitu Umar bin Khatthab r.a., ketika ia dimintai pendapat mengenai ‘jalan Minimalis’ oleh Abdullah bin Umar r.a.. Untuk itu, ayolah kita simak kutipan kitab Tafsir Ibnu Katsir sebagai berikut.
Telah diberitakan oleh Ibnu Jarir dengan sanad [shahih] dari Ibnu ‘Aun, dari Hasan al-Basri, bahwasanya orang-orang Mesir bertanya kepada Abdullah bin Umar: “Kami melihat beberapa perintah dalam al-Qur’an yang seharusnya dikerjakan, tapi tak dikerjakan. Maka untuk itu kami hendak menemui Amirul Mukminin.” Kemudian datanglah Abdullah bin Umar bersama mereka untuk menemui Umar r.a. … “Hai Amirul Mukminin, orang-orang Mesir menemuiku dan berkata: ‘Kami melihat beberapa perintah dalam Kitab Allah yang seharusnya dikerjakan, tapi tak dikerjakan.’ Untuk itulah mereka ingin menemui Anda.”
“Kumpulkanlah mereka,” kata Umar. Lalu Umar segera mendekati salah seorang di antara mereka sambil berkata: “Demi Allah dan hak Islam atas engkau, adakah engkau membaca al-Qur’an secara keseluruhan?”
“Ya.” Jawabnya. “Adakah engkau memperhitungkannya dalam dirimu? (yakni, adakah engkau menyesuaikan pengamalan al-Qur’an secara keseluruhan dalam meluruskan niatmu, membersihkan hatimu dan memperhitungkan dirimu?)”
Jawabnya: “Demi Allah, tidak!” (Kalau sekiranya ia berkata ‘ya’, niscaya Umar akan membantahnya.) “Adakah engkau menyesuaikan penglihatanmu, perkataanmu, langkahmu dan seluruh perjalananmu dengan al-Qur’an?” Kemudian Umar mengajukan pertanyaan-pertanyaan semacam itu secara bergilir kepada mereka satu persatu hingga sampai pada orang terakhir. (Yakni, ia menanyakan kepada mereka: Adakah kamu menyesuaikan perbuatanmu dengan Kitab Allah secara keseluruhan, baik dalam dirimu, anggota badanmu, perkataan-perkataanmu, tindakan-tindakanmu, gerak dan diammu? Dengan serentak mereka menjawab: Demi Allah, tidak!)
Maka kata Umar selanjutnya: “Amboi! Adakah kamu akan membebankan kepada Umar agar menegakkan hidup rakyat secara keseluruhan sesuai sepenuhnya dengan Kitab Allah? (yaitu seiring dengan gambaran yang kamu pahami dan tiada kamu dapat menegakkannya sebagaimana pengakuanmu). Tuhan kita telah mengetahui bahwa akan terjadi pada kita beberapa keburukan.” Kemudian Umar membaca ayat: “Jika kamu meninggalkan dosa-dosa besar yang kamu dilarang memperbuatnya, niscaya Kami akan mengampuni kesalahanmu yang kecil-kecil dan akan Kami masukkan kamu ke dalam tempat yang mulia.” (QS. 4: 31) (Yusuf Qardhawi, Islam Ekstrem: Analisis dan Pemecahannya (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 172-173.)
Jadi, Dik, sebagaimana kita hormati kaum Maksimalis, marilah kita hargai kaum Minimalis. Bagaimanapun, Al-Qur’an memang menyatakan betapa Allah SWT memaklumi berbagai keterbatasan manusiawi. Umpamanya (selain ayat tadi): “Tidak ada paksaan dalam agama.” (al-Baqarah [2]: 256) “Allah tidak membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (al-Baqarah [2]: 286) “Maka bertaqwalah kepada Allah menurut kemampuanmu.” (at-Taghâbun [64]: 16)
Pacaran Islami-Optimalis
Dik Ayu… Sejalan dengan saudara2 kita yang minimalis, kita pun berusaha bertaqwa menurut kemampuan kita. Namun, kita tidak menyerah pada kurangnya kemampuan untuk menempuh jalan yang maksimal. Kemampuan kita, betapapun minimnya, senantiasa bisa kita upayakan peningkatannya. Kita mampu menempuh jalan yang lebih dari sekedar minimal, kan? Jadi, kita pilih aja jalan yang memberi kita ruang yang lebih longgar untuk menyabet peluang2 emas di jalan pacaran sebanyak-banyaknya dan sekaligus mencapai tingkat ’surga’ (baik surga duniawi maupun surga ukhrawi) yang setinggi-tingginya.
Seiring dengan saudara2 kita yang maksimalis, kita pun berupaya menempuh jalan Islami semaksimal mungkin. Namun, belajar dari sentilan Umar bin Khatthab dalam cerita di atas, kita tidak menuntut siapa pun, termasuk diri sendiri, dengan beban berat yang tak mampu kita pikul.
Oleh karena itu, kita jalani Islam antara minimalis dan maksimalis. Inilah jalan Islami-Optimalis. Semua kewajiban-pokok kita laksanakan, semua perbuatan dosa-besar tidak kita kerjakan. Namun, terhadap kewajiban yang tidak pokok dan amal sunnah beserta perbuatan dosa-kecil dan yang syubhat, kita tentukan prioritas sesuai dengan kemampuan dan keadaan kita masing2 (secara selektif), seraya senantiasa berikhtiar meningkatkan kemampuan dan memperbaiki keadaan kita.
Hai anak-cucu Adam! Jika datang kepadamu rasul-rasul dari kalangan kamu sendiri menyampaikan ayat-ayat-Ku, maka siapa pun bertaqwa dan memperbaiki diri, mereka takkan cemas dan takkan sedih. (al-A’râf [7]: 35)
Setiap rasul yang Kami utus niscaya menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan. Maka siapa pun beriman dan memperbaiki diri, mereka takkan cemas dan takkan sedih. (al-An’âm [6]: 48)
Orang-orang yang mendengarkan berbagai perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya, mereka itulah yang mendapat petunjuk Allah dan mereka itulah orang-orang yang arif. (az-Zumar [39]: 18)
Mengikuti yang terbaik itu mirip dengan jalan Maksimalis. Namun, berbeda dari jalan Maksimalis yang lebih condong menaruh perhatian pada kebaikan universal yang diasumsikan mampu dijalani oleh semua orang, jalan Optimalis cenderung lebih menghargai potensi individual. Karakter khas dan keadaan individu pun tak dipandang dengan sebelah mata.
Sikap mengindahkan kekhasan individu ini tampak didukung oleh Rasulullah saw.. Buktinya, pernah beliau bersabda, “Perhatikanlah keinginan gadis muda yang masih senang bermain.” (HR Bukhari & Muslim) Pernah pula beliau menegur, “Hai Aisyah! Mengapa tidak kau hadirkan hiburan bagi mereka [orang-orang Anshar], padahal orang-orang Anshar senang hiburan?” (HR Bukhari & Muslim)
Memperhatikan kekhasan individu, tak terkecuali dalam hal ‘kesenangan duniawi’, itu juga merupakan ciri jalan Minimalis. Hanya saja, kalangan Islami-Minimalis cenderung membutuhkan banyak kesenangan, sehingga kadang2 memperlakukannya bagai ‘makanan sehari-hari’. Sedangkan di jalan Optimalis, bermain itu kita perlukan dalam porsi tertentu saja, sehingga hanya diperlakukan sebagai ‘bumbu penyedap’. (Adapun di jalan Maksimalis, kesenangan duniawi cenderung tidak dimasukkan sebagai ‘menu’ sama sekali.)
Memang, hidup di dunia hanyalah permainan dan hiburan. Namun, “kalau beriman dan bertaqwa, kamu akan menerima pahalamu.” (Muhammad [47]: 35) Hiburan dan permainan itu sendiri, dalam tafsiran Abdullah Yusuf Ali, “bukan sesuatu yang tak baik. Sebagai persiapan ke dalam kehidupan yang lebih sungguh-sungguh, keduanya punya nilai tersendiri.” Tapi, kalau kita abaikan masa depan, kalau perhatian kita terpusat ke hiburan dan permainan itu, maka kita takkan beruntung. (Lihat al-An’âm [6]: 32 dan al-’Ankabût [29]: 64.)
Di jalan pacaran, contoh ‘kesenangan duniawi’ yang cukup menonjol adalah ekspresi2 cinta dalam bentuk ungkapan2 mesra atau romantis seperti ’sayangku’, ‘bidadariku’, ‘matahariku’, dsb.. Oleh kalangan Islami-Maksimalis, kemesraan atau keromantisan ini dinilai menggelikan dan belum pantas bagi pasangan yang belum nikah. Bahkan, sebagian saudara kita menganggap ungkapan mesra atau romantis antarlawan-jenis yang bukan suami-istri itu mendekati zina.
Hah?! Mendekati zina? Tidakkah anggapan itu penilaian subyektif mereka? Manakah dalil qath’i (jelas) atau pun bukti obyektif yang menunjukkan bahwa kemesraan atau keromantisan yang begitu itu mendekati zina? Nyatanya, menyisir rambut kepala lawan-jenis non-muhrim aja merupakan sunnah Rasulullah dan shahabat beliau, sebagaimana terungkap dalam beberapa hadits shahih di atas. Oleh sebab itu, kita belum dapat menerima penilaian bahwa ungkapan yang bernada menghargai kekasih itu mendekati zina. (Lain halnya bila ungkapan mesra atau romantis itu disalahgunakan sebagai rayuan untuk berbuat zina.) Karenanya, kita pun belum dapat menerima pendapat mereka bahwa segala bentuk kemesraan atau keromantisan hanya boleh berlangsung di antara suami-istri saja.
Dik Ayu… Kita ragu apakah kemesraan atau keromantisan pasti dapat berkembang di antara suami-istri yang sebelumnya saling kenal melalui ta’aruf belaka. Untuk membangun rumah-tangga yang sakinah, pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang hal-ihwal si dia mungkin belum mencukupi. Alih2, lebih dahulu dibutuhkan kasih-sayang mendalam melalui keakraban hubungan asmara yang tertata sejak dini.
Sekalipun begitu, hubungan asmara yang dimaksudkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan kasih-sayang saja barangkali terlalu riskan. Begitu serius tantangan yang kita hadapi, sehingga teramat sayang kalau kita tidak berusaha meraih ‘laba’ yang sepadan dengan besarnya risiko ini. Dan kita yakin, tidak ada ‘keuntungan duniawi’ yang lebih layak untuk kita harapkan selain rahmat bagi semesta alam, antara lain berupa pernikahan. Wallâhu a’lam.
Oleh sebab itu, kita mengakui pentingnya pernikahan disamping perlunya hubungan cinta yang terkelola dengan sebaik-baiknya. Atas dasar itu, kita yang memilih jalan pacaran Islami-Optimalis cenderung berorientasi pada manajemen cinta pra-nikah. (Cinta pra-nikah adalah asmara “yang berkemungkinan berlanjut ke pernikahan, baik yang kemungkinannya sangat besar atau hampir pasti maupun yang kecil sekali atau nyaris mustahil” (NAI: 7).)
Dengan menonjolkan segi manajemen, kita terdorong untuk menjadi anggota komunitas ‘putih’. Komunitas ini tempat interaksi muda-mudi yang berusaha mensucikan diri dari hari ke hari, dari musim ke musim. Biar lambat, asal produktif! Berkembang sedikit demi sedikit, bulan demi bulan, atau bahkan tahun demi tahun. Seleksinya pakai waktu, pakai kesabaran, pakai tanggung jawab. Mulai dari ‘musim dingin’, lalu ‘musim semi’, tau2, ehm…. Akhirnya, sepasang sahabat akrab lain-jenis yang saling mencintai bisa dengan tenang melewati ‘musim panas’ dengan mengikat janji untuk menikah dan kemudian memasuki ‘musim gugur’ dalam rangka memenuhi janji ini.
> Mantap pilih jalan pacaran Islami-Optimalis?
Kalau pembaca milih jalan islami lainnya, ya silakan aja. Seperti yg udah kubilang tadi, iman kan bercabang-cabang. Surga bertingkat-tingkat, pintunya pun banyak… Pokoknya, yang kupilih adalah jalan yang paling dapat aku pertanggung-jawabkan dunia-akhirat!


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar